Selasa, 26 Juni 2012

Filsafat Abad Kuno


Filsafat pada abad ini bermula ketika munculnya berbagai pemikiran mendalam tentang realitas (alam) yang ada ini. Pada mulanya pemikiran tersebut hanya sebatas renungan orang-orang bijak semata, namun pada akhirnya terumus dalam proporsi-proporsi yang logis dan sistematis. Menurut catatan sejarah, awal perkembangan filsafat pada abad ini dimulai dari Milete (sekitar tahun 600 SM). Milete adalah sebuah kota yang berada di Asia Kecil, kota ini menjadi tempat transit para pedagang dari berbagai penjuru dunia (seperti Mesir, Itali, Yunani dan Asia). Oleh karenanya sangatlah mungkin jika di kota tersebut terjadi pertemuan berbagai latar belakang kehidupan dan pemikiran, sehingga Milete dikenal sebagai pusat intelektualitas.
Munculnya para ahli pikir alam menyebabkan filsafat Yunani periode awal sering disebut sebagai filsafat alam. Sealin itu, filsafat alam ini juga dikenal sebagai filsafat pra-Socrates, karena karakter pemikiran filsafat ini berbeda dengan pemikiran filsafat zaman Socrates dan berikutnya.
Tokoh-tokoh filsafat pra-Socrates dikenal sebagai filsuf pertama atau filsuf alam. Mereka mencari “unsur induk” (arche) yang dianggap sebagai asal dari segala sesuatu. Pandangan para filsuf ini melahirkan sebuah aliran yang menyatakan bahwa “hanya satu kenyataan fundamental”, yang dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi lainnya yang tidak dapat dilihat. Aliran ini disebut sebagai aliran monisme.
Setidaknya terdapat empat tokoh filsuf pada abad ini ini, yakni; Thales ( ± 624-546 SM), adalah seorang saudagar sekaligus ahli politik yang terkenal di Miletos. Ia adalah filsuf pertama sehingga dijuluki sebagai Bapak Filsafat Yunani. Ia mengajukan sebuah pertanyaan yang sangat mendasar, yaitu: “What is the nature of the world stuff?”, dan ia sendiri menjawab “air”. Sehingga ajaran Thales adalah “bahwa air-lah yang merupakan unsur induk ini”: air yang cair itu adalah pangkal, pokok dan dasar (principle) segala-galanya. Semua barang terjadi dari air dan semuanya kembali pada air pula. Anaximander (± 610-520 SM), ia adalah seorang ahli astronomi dan ilmu bumi yang merupakan murid dari Thales. Ia yang menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dari “yang tak tebatas” (apeiron): zat yang tak terhingga dan tak terbatas serta tidak dapat dirupakan, tak ada persamaannya dengan apapun. Segala sesuatu pasti berakhir, yang cair menjadi beku dan sebaliknya. Semua itu terjadi dari adanya Aperion dan akan kembali pula pada Aperion.. Anaximenes (± 585-525SM), adalah seorang filsuf alam yang merupakan murid dari Anaximender. Ia mengajukan sebuah pertanyaan “Gerakan apakah yang menjadi sebab terjadinya alam yang lahir yang banyak ragam dan macamnya dari barang asal yang satu ini?”. Ia menemukan jawaban bahwa “semuanya terjadi dari udara”: udara-lah yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Jika udara berkumpul maka terjadilah angin dan awan. Semakin pekat maka akan turun hujan dari awan itu. Dari air terjadilah tanah, kemudian tanah yang padat akan menjadi batu. Pythagoras (± 580-500 SM), adalah seorang ahli pikir sekaligus ahli mistik dari kepulauan Samos. Ia menyatakan bahwa “notasi matematika merupakan realitas asali yang membentuk dinamika alam semesta”. Segala sesuatu yang ada di alam raya ini tidak tentu, benda dan teori juga tidak tentu, semuanya akan menjadi tentu dan pasti jika telah memiliki batas bentuk dan angka.
Selain para filsuf diatas, terdapat dua tokoh penting lain pada abad ini, yaitu Herakleitos (± 540-480 SM), seorang ahli pikir dari kota Ephesos di Asia Minor dan Parmenides (± 540-473 SM) seorang ahli pikir sekaligus ahli politik dari kota Elea Italia Selatan. Herakleitos mengajarkan bahwa segala sesuatu itu “mengalir” (parta rhei): segala sesuatu berubah terus menerus bagai air di sungai. Sedangkan Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sebalinya dan tetap tidak berubah-ubah. Segala sesuatu yang benar-benar ada, itu kesatuan mutlak yang abadi dan tak terbagikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda?