Filsafat pada abad ini bermula ketika munculnya
berbagai pemikiran mendalam tentang realitas (alam) yang ada ini. Pada mulanya
pemikiran tersebut hanya sebatas renungan orang-orang bijak semata, namun pada
akhirnya terumus dalam proporsi-proporsi yang logis dan sistematis. Menurut
catatan sejarah, awal perkembangan filsafat pada abad ini dimulai dari Milete
(sekitar tahun 600 SM). Milete adalah sebuah kota yang berada di Asia Kecil,
kota ini menjadi tempat transit para pedagang dari berbagai penjuru dunia (seperti
Mesir, Itali, Yunani dan Asia). Oleh karenanya sangatlah mungkin jika di kota
tersebut terjadi pertemuan berbagai latar belakang kehidupan dan pemikiran, sehingga
Milete dikenal sebagai pusat intelektualitas.
Munculnya para ahli pikir alam menyebabkan filsafat
Yunani periode awal sering disebut sebagai filsafat alam. Sealin itu, filsafat
alam ini juga dikenal sebagai filsafat pra-Socrates, karena karakter pemikiran
filsafat ini berbeda dengan pemikiran filsafat zaman Socrates dan berikutnya.
Tokoh-tokoh filsafat pra-Socrates dikenal sebagai filsuf pertama atau filsuf alam. Mereka mencari “unsur induk” (arche) yang dianggap sebagai asal dari segala sesuatu. Pandangan para filsuf ini melahirkan sebuah aliran yang menyatakan bahwa “hanya satu kenyataan fundamental”, yang dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi lainnya yang tidak dapat dilihat. Aliran ini disebut sebagai aliran monisme.
Tokoh-tokoh filsafat pra-Socrates dikenal sebagai filsuf pertama atau filsuf alam. Mereka mencari “unsur induk” (arche) yang dianggap sebagai asal dari segala sesuatu. Pandangan para filsuf ini melahirkan sebuah aliran yang menyatakan bahwa “hanya satu kenyataan fundamental”, yang dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi lainnya yang tidak dapat dilihat. Aliran ini disebut sebagai aliran monisme.
Setidaknya terdapat empat tokoh filsuf pada abad
ini ini, yakni; Thales ( ± 624-546 SM), adalah seorang saudagar sekaligus
ahli politik yang terkenal di Miletos. Ia adalah filsuf pertama sehingga
dijuluki sebagai Bapak Filsafat Yunani. Ia mengajukan sebuah pertanyaan yang
sangat mendasar, yaitu: “What is the nature of the world stuff?”, dan ia
sendiri menjawab “air”. Sehingga ajaran Thales adalah “bahwa air-lah
yang merupakan unsur induk ini”: air yang cair itu adalah pangkal, pokok dan
dasar (principle) segala-galanya. Semua barang terjadi dari air dan
semuanya kembali pada air pula. Anaximander (± 610-520 SM), ia adalah
seorang ahli astronomi dan ilmu bumi yang merupakan murid dari Thales. Ia yang
menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dari “yang tak tebatas” (apeiron): zat
yang tak terhingga dan tak terbatas serta tidak dapat dirupakan, tak ada
persamaannya dengan apapun. Segala sesuatu pasti berakhir, yang cair menjadi
beku dan sebaliknya. Semua itu terjadi dari adanya Aperion dan akan
kembali pula pada Aperion.. Anaximenes (± 585-525SM), adalah seorang
filsuf alam yang merupakan murid dari Anaximender. Ia mengajukan sebuah
pertanyaan “Gerakan apakah yang menjadi sebab terjadinya alam yang lahir
yang banyak ragam dan macamnya dari barang asal yang satu ini?”. Ia menemukan
jawaban bahwa “semuanya terjadi dari udara”: udara-lah yang merupakan
unsur induk dari segala sesuatu. Jika udara berkumpul maka terjadilah angin dan
awan. Semakin pekat maka akan turun hujan dari awan itu. Dari air terjadilah
tanah, kemudian tanah yang padat akan menjadi batu. Pythagoras (± 580-500
SM), adalah seorang ahli pikir sekaligus ahli mistik dari kepulauan Samos. Ia
menyatakan bahwa “notasi matematika merupakan realitas asali yang membentuk
dinamika alam semesta”. Segala sesuatu yang ada di alam raya ini tidak
tentu, benda dan teori juga tidak tentu, semuanya akan menjadi tentu dan pasti
jika telah memiliki batas bentuk dan angka.
Selain para filsuf diatas, terdapat dua tokoh
penting lain pada abad ini, yaitu Herakleitos (± 540-480 SM), seorang ahli
pikir dari kota Ephesos di Asia Minor dan Parmenides (± 540-473 SM) seorang ahli
pikir sekaligus ahli politik dari kota Elea Italia Selatan. Herakleitos
mengajarkan bahwa segala sesuatu itu “mengalir” (parta rhei): segala sesuatu
berubah terus menerus bagai air di sungai. Sedangkan Parmenides mengatakan
bahwa kenyataan justru sebalinya dan tetap tidak berubah-ubah. Segala sesuatu
yang benar-benar ada, itu kesatuan mutlak yang abadi dan tak terbagikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda?